Review Buku Konstitusi dan Konstitusionalisme
11:28 PM
Oleh Harry Fambudi
Penulis : Jimly Asshiddiqie
Penerbit : Sinar Grafika
Cetakan : November 2011
Halaman : xvi + 340 halaman
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., dalam buku ini membahas sejarah awal
konstitusi di Indonesia, demokrasi dan nomokrasi, prinsip kekuasaan, dan
bagaimana penerapan ideal sebuah konstitusi. Dalam pengantarnya, buku ini merupakan
refleksi dari perjalanan dan keterlibatan penulis dalam dunia ilmu hukum. Keterlibatan
penulis sebagai akademisi, politisi (ketika penulis menjadi anggota
legislatif), dan sebagai Hakim Konstitusi dituangkan dalam bentuk teori-teori
dan ulasan ilmu hukum.
Buku ini berisi banyak ulasan mengenai
konstitusi di Indonesia. Walaupun di awal, penulis memaparkan mengenai gagasan
konstitusi secara umum. Pembaca dibawa pada penjelasan secara historis
perkembangan konstitusi. Dalam memaparkan pandangan konstitusi saat masa Yunani
kuno dan Romawi Kuno, penulis juga memberikan pandangan pembanding tentang Piagam
Madinah. Hal ini merupakan karakteristik penulis dalam memaparkan pandangan
konstitusi dielaborasikan dengan parspektif penulis mengenai syariat Islam
dalam konteks kenegaraan. Pandangan ini akan kita temui pada pembahasan-pembahasan
dalam beberapa bab.
Bab 1, penulis membahas Konstitusi dan Konstitusionalisme.
Secara substantif, menguraikan pengertian, sejarah, dan kaitannya dengan Piagam
Madinah, serta karakter konstitusi dan konstitusionalisme modern. Kerangka
teoritik yang dipergunakan dalam menganalisis konstitusionalisme menggunakan
pemikiran William G. Andrews, yang menyatakan untuk menjamin tegaknya
konstitusionalisme pada umumnya bersandar pada tiga unsur kesepakatan, yaitu:
(i) kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama tentang pemerintahan (the general goals of society or general
acceptance of the same philosophy of government); (ii) kesepakatan tentang
negara hukum sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggara negara (the rule of law or the basis of government);
(iii) kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan (the form of institutions
and procedures). Dalam buku Hukum Perbandingan Konstitusi (Jazim Hamidi & Malik) juga
menggunakan teori yang sama menganalis teori konstitusionalisme.
Disebutkan bahwa kontekstualisasi pemikiran
Andrews menyangkut tujuan atau cita-cita bersama merupakan falsafah kenegaraan
atau staatsidee (cita negara) yang
berfungsi sebagai filosofische grondslag
atau common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga
masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Dasar filsosofis-sosiologis di
Indonesia adalah Pancasila serta perwujudan empat tujuan atau cita-cita ideal
bernegara yang disebutkan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Ketiga
kesepakatan tersebut melengkapi inti yang menyangkut prinsip pengaturan dan
pembatasan kekuasaan. Pada pokoknya, prinsip konstitusionalisme
modern sebenarnya memang menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan atau yang
lazim disebut sebagai prinsip ‘limited
government’.
Pada Bab 2, penulis secara khusus
membahas konstitusi Indonesia dari masa ke masa. Pembahasan mengenai konstitusi
yang ada di Indonesia diulas secara komprehensif. Pembahasan dilakukan dari
kajian historis perkembangan perubahan konstitusi Indonesia (UUD) sampai
amandemen terakhir.
Berkenaan dengan prosedur perubahan
Undang-Undang Dasar, Penulis memaparkan adanya tiga tradisi yang berbeda antara
satu negara dengan negara lain. Pertama,
kelompok negara yang mempunyai kebiasaan mengubah materi Undang-Undang Dasar dengan
langsung memasukkan (insert) materi
perubahan itu ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Dalam kelompok ini dapat
disebut, misalnya, Republik Perancis, Jerman, Belanda, dan sebagainya. Kedua, kelompok negara-negara yang
mempunyai kebiasaan mengadakan penggantian naskah Undang-Undang Dasar. Di lingkungan
negara-negara ini, naskah konstitusi sama sekali diganti dengan naskah yang
baru, seperti pengalaman Indonesia dengan Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS
Tahun 1950.
Ketiga, yaitu perubahan konstitusi melalui naskah
yang terpisah dari teks aslinya, yang disebut sebagai amandemen. Dengan tradisi
demikian, naskah asli Undang-Undang Dasar tetap utuh, tetapi kebutuhan akan
perubahan hukum dasar dapat dipenuhi melalui naskah tersendiri yang dijadikan
adendum tambahan terhadap naskah asli tersebut. Dapat dikatakan, tradisi perubahan
demikian memang dipelopori oleh Amerika Serikat. Perubahan UUD 1945 yang telah
berlangsung empat kali berturut-turut sampai sekarang, sesungguhnya, tidak lain
juga mengikuti mekanisme perubahan gaya Amerika Serikat itu.
Bab 3, penulis membahas mengenai
prinsip dasar penyelenggaraan negara. Pembahasan dilatarbelakangi substansi pembukaan
UUD yang memuat pokok-pokok pikiran, cita-cita luhur, dan filosofis bangsa
Indonesia. Adapaun dalam penyelenggaraan Negara Indonesia dilaksanakan berdasarkan
Pancasila.
Penulis mengemukakan adanya sembilan prinsip pokok
yang mendasari penyusunan sistem penyelenggaraan Negara Indonesia dalam rumusan
Undang-Undang di masa depan. Kesembilan prinsip itu adalah: (i) Ketuhanan Yang
Maha Esa, (ii) Cita Negara Hukum atau Nomokrasi, (iii) Paham Kedaulatan Rakyat
atau Demokrasi, (iv) Demokrasi Langsung dan Demokrasi perwakilan, (v) Pemisahan
Kekuasaan dan Prinsip ‘Checks and
Balances’, (vi) Sistem Pemerintahan Presidensiil, (vii) Prinsip Persatuan dan
Keragaman dalam Negara Kesatuan, (viii) Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Pasar
Sosial, dan (ix) Cita Masyarakat Madani.
Kesembilan prinsip pokok itu ditemukan
dan ditelaah secara mendalam dari berbagai pergumulan pemikiran yang berkembang
di kalangan para ahli dan di kalangan para perumus dan perancang naskah
Undang-Undang Dasar maupun naskah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sejak
tahun 1945 sampai sekarang.
Namun ada hal ‘kecil’ yang agak mengganggu
yakni kesalahan penulisan jumlah prinsip penyelenggaraan negara yang dilakukan
berulang sebanyak 2 kali. Jumlah prinsip tersebut ditulis sebanyak sepuluh
prinsip. Padahal jumlah prinsip yang dipaparkan hanya sembilan.
Bab 4, menurut saya, penulis dengan karakter
khasnya dalam melakukan analisa Perumusan Prinsip Ketuhanan menjelaskan antara
pemikiran Islam dan pemikiran Barat dalam runtutan penjabaran secara historis.
Menurut penulis, bangsa Indonesia berbeda dari paham teokrasi yang mewujudkan
ide Kedaulatan Tuhan itu ke dalam paham Kedaulatan Raja. Bangsa Indonesia
mewujudkan paham Kedaulatan Tuhan itu dalam dan melalui konsep Kedaulatan
Rakyat dan Kedaulatan Hukum.
Pandangan
demikian kiranya lebih sesuai dengan prinsip ‘tauhid’ menurut ajaran agama
Islam yang dianut oleh sebagian terbesar rakyat Indonesia, dan sejalan pula
dengan prinsip ke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila.
Adapun dalam perubahan dari perumusan Piagam
Jakarta penulis mengutip pendapat Umar Basalim mengenai mengenai kedudukan
“syari’at Islam” yang dikaitkan dengan pencoretan ketujuh perkataan dari naskah
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pertama,
kelompok yang berpendapat bahwa pencoretan itu terjadi karena pertimbangan untuk
memelihara persatuan di antara sesama warga bangsa yang menganut berbeda-beda
agama. Penulis berpendapat, kelemahan pandangan ini yang bersifat pragmatis
cenderung menyederhanakan persoalan. Pandangan pragmatis ini tidak
menyelesaikan konflik (conflict
resolution), melainkan hanya sekedar menghindari konflik atau malah
menghindar dari upaya untuk menyelesaikan perbedaan dan persengketaan (conflict avoidance).
Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa pemberlakuan
syari’at Islam di kalangan masyarakat yang mayoritas penduduknya menganut agama
Islam merupakan kewajiban yang mutlak sifatnya. Menurut penulis, pemberlakuan
syari’at Islam itu tidak perlu mengkhawatirkan para pemeluk agama selain Islam,
karena subjek hukum yang dituju oleh pemberlakuan syari’at Islam itu adalah
hanya kaum Muslimin. Ketiga, kelompok
yang berpendapat lebih realistis. Pandangan penulis bahwa syari’at Islam tidak
perlu dan tidak boleh direduksikan maknanya sekedar menjadi persoalan internal
institusi negara. Hukum negara harus mencerminkan esensi keadilan berdasarkan
ke-Tuhanan Yang Maha Esa, memang sudah seharusnya, yaitu diwujudkan melalui
prinsip yang saya namakan ‘hirarki norma’ dan ‘elaborasi norma’.
Pada bab ini penulis juga memuat ketentuan-ketentuan
mengenai hak-hak asasi manusia. Menurut penulis hal ini sangat penting dalam memberikan
jaminan konstitusional. Hal itu bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok
dianutnya prinsip Negara hukum di suatu Negara. Namun di samping hak-hak asasi
manusia, harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggungjawab
yang juga bersifat asasi.
Bab 5 merupakan pembahasan Cita
Demokrasi dan Nomokrasi. Ulasan dimulai dengan membedah konsepsi gagasan
kedaulatan. Penulis memaparkan dengan membandingkan antara pemikiran Islam dan
pemikiran Barat dalam runtutan penjabaran secara historis.
Pengertian kata kedaulatan dalam makna klasiknya
berkaitan erat dengan gagasan mengenai kekuasaan tertinggi, baik di bidang
ekonomi maupun terutama di lapangan politik. Makna kekuasaan yang bersifat
tertinggi itu, terkandung pula dimensi waktu dan proses peralihannya sebagai
fenomena yang bersifat alamiyah. Pandangan seperti ini terdapat pula dalam
pemikiran Ibn Khaldun mengenai naik tenggelamnya kekuasaan negara-negara dalam
sejarah umat manusia.
Pandangan Ibnu Khaldun inilah yang sebenarnya
mempengaruhi Niccolo Maciavelli (1461-1527, yang lahir kurang lebih 6 tahun setelah Ibnu Khaldun wafat) ketika
menulis karya monumentalnya l’Prince.
Buku l’Prince ini, seperti Mukadimah, juga mengungkapkan teori yang
sangat mirip mengenai naik-tenggelamnya negara dalam sejarah umat manusia.
Di dunia ilmu pengetahuan, tokoh yang dapat
disebut sebagai pelopor pertama yang membahas ide kedaulatan ini sebagai konsep
kekuasaan tertinggi di dunia ilmu pengetahuan adalah Jean Bodin (1530-1596). Setelah
Jean Bodin, tokoh yang harus disebut jasanya dalam mengembangkan studi mengenai
konsep kedaulatan ini adalah Thomas Hobbes. Adapun kedaulatan
dalam pandangan klasik tidak dapat dipisahkan dari konsep negara. Menurut penulis,
pandangan Bodin maupun Hobbes ini, betapapun juga dapat dianggap merupakan
cermin dari atau mencerminkan pandangan yang sangat dipengaruhi oleh paham
liberalisme yang dikembangkan karena kebutuhan untuk melawan serta membebaskan
zamannya dari kungkungan kesewenang-wenangan Raja.
Kemudian dalam perkembangannya penulis
mengemukakan pendapat para ahli dalam kritik atas kelemahan definisi klasik
seperti Rossseau (1712-1778), Montesquieu (1681-1755), John Austin, dan Jeremy
Bentham. Menurut penulis, konsep kedaulatan dewasa ini
haruslah dipahami sebagai konsep kekuasaan tertinggi yang dapat saja dibagi dan
dibatasi. Pembatasan kekuasaan itu, betapapun tingginya, harus dapat dilihat
dalam sifatnya yang internal yang biasanya ditentukan pengaturannya dalam
konstitusi yang pada masa kini biasanya dikaitkan dengan ide konstitusionalisme
negara modern. Artinya, di tangan siapapun kekuasaan tertinggi atau kedaulatan
itu berada, terhadapnya selalu diadakan pembatasan oleh hukum dan konstitusi
sebagai produk kesepakatan bersama para pemilik kedaulatan itu sendiri.
Pada sub bab tentang Demokrasi dan Kedaulatan
Rakyat, penulis menggambarkan fenomena demokratisasi di hampir seluruh negara
di dunia. Konsep demokrasi itu dipraktekkan di seluruh dunia secara berbeda-beda
dari satu negara ke negara lain. Akan tetapi fenomena tersebut hanya sebagai paradigma
dalam bahasa komunikasi dunia mengenai sistem pemerintahan dan sistem politik
yang diangap ideal. Oleh karena itu, bisa saja pada suatu hari nanti, timbul kejenuhan
atau bahkan ketidakpercayaan yang luas mengenai kegunaan praktis konsep
demokrasi modern ini. Penulis sendiri memberikan pandangan mengenai demokrasi
dan kedaulatan rakyat bahwa rakyat mempunyai otoritas tertinggi untuk
menetapkan berlaku tidaknya suatu ketentuan hukum dan mempunyai otoritas tertinggi
untuk menjalankan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan hukum. Dengan perkataan lain,
rakyat berdaulat, baik dalam perencanaan, penetapan, pelaksanaan, maupun
evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan produk hukum yang mengatur proses
pengambilan keputusan dalam dinamika penyelenggaraan negara dan pemerintahan
yang berkaitan dengan nasib dan masa depan mereka sendiri sebagai rakyat negara
yang bersangkutan.
Pandangan penulis dalam sub bab Nomokrasi dan
Konsep Negara Hukum dimulai dengan memaparkan teori konsep Negara Hukum di
Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius
Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat”. Sedangkan dalam tradisi
Anglo Amerika, konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey
dengan sebutan “The Rule of Law”. Pembahasan
yang dilakukan sepertinya kurang komprehensif. Tidak seperti Muhammad Tahir Azhary
dalam buku “Negara Hukum:
Suatu
Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya
pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini” yang tidak hanya memaparkan konsep negara hukum dari negara-negara
Eropa kontinental dan negara-negara Anglo-Saxon tetapi juga negara-negara
komunis/ sosialis dengan istilah Sosialist
Legality dan nomokrasi Islam.
Namun demikian, penulis berpendapat agar
dilakukan perumusan kembali prinsip pokok negara hukum yang berlaku di zaman
sekarang. Prinsip-prinsip tersebut, yaitu Supremasi Hukum (Supremacy of Law), Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law),
Asas Legalitas (Due Process of Law),
Pembatasan Kekuasaan, Organ-Organ Eksekutif Independen, Peradilan Bebas dan
Tidak Memihak,
Peradilan
Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Negara (Constitutional
Court), Perlindungan Hak Asasi
Manusia, Bersifat demokratis (Democratische
Rechtsstaat), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), serta Transparansi dan Kontrol Sosial. Kedua belas prinsip pokok tersebut
merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern
sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat)
dalam arti yang sebenarnya.
Pembahasan Organ Negara dan
Pemisahan Kekuasaan terdapat dalam Bab 6. Diawal penulis mempersoalkan hakikat
kekuasaan yang dilembagakan atau diorganisasikan kedalam bangunan kenegaraan. Di
Indonesia, menurut penulis, konsep kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum, dan
kedaulatan rakyat itu berlaku secara simultan dalam pemikiran bangsa kita
tentang kekuasaan. Ketiga konsep kedaulatan tersebut dengan latar belakang
pemikiran yang tumbuh dan berkembang sejak sebelum kemerdekaan, dan di dalamnya
dengan cita kenegaraan (staatsidee)
yang terkandung dalam rumusan Undang-Undang Dasar.
Dalam UUD NRI 1945 mengenal perspektif
pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal itu, prinsip kesederajatan dan perimbangan
kekuasaan itu tidaklah bersifat primer. Menurut penulis, prinsip pembagian kekuasaan
atau pemisahan kekuasaan ini penting untuk dijernihkan karena pilihan di antara
keduanya sangat mempengaruhi mekanisme kelembagaan dan hubungan antar lembaga
negara secara keseluruhan. Pengaturan dan pembatasan kekuasaan tersebut menjadi
ciri konstitusionalisme dan sekaligus tugas utama konstitusi, sehingga
kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan dapat dikendalikan dan diminimalkan.
Kemudian, penulis membahas beberapa cabang-cabang
kekuasaan negara yang terdapat dalam UUD NRI 1945. Pembahasan dianalisa dari
segi substansi dan yuridis diantaranya dalam cabang kekuasaan legislatif (MPR,
DPR, DPRD), Badan Periksaan Keuangan, kekuasaan pemerintah negara (eksekutif),
dan kekuasan kehakiman (MA, MK, KY). Penulis menggambarkan kondisi ideal
lembaga-lembaga negara tersebut.
Bab 7 mengulas Bentuk Negara
Kesatuan dengan Otonomi Luas. Menurut penulis masih terdapat kelemahan rumusan
di atas terkait dengan pengertian ‘bentuk negara’ yang tidak dibedakan dari pengertian
‘bentuk pemerintahan’. Padahal, kedua konsep ini sangat berbeda satu sama lain.
Karena yang dibicarakan adalah bentuk negara berarti bentuk organ atau organisasi
negara itu sebagai keseluruhan. Jika yang dibahas bukan bentuk organnya,
melainkan bentuk penyelenggaraan pemerintahan atau bentuk penyelenggaraan
kekuasaan maka istilah yang lebih tepat dipakai adalah istilah ‘bentuk
pemerintahan’. Istilah ini pun harus dibedakan pula dari istilah ‘sistem
pemerintahan’ yang menyangkut pilihan antara sistem presidential, sistem
parlementer, atau sistem campuran.
Selain itu, penulis menyoroti perkembangan dan
konsep otonomi daerah di Indonesia. Dalam sejarah awal, penulis mengemukakan
pandangan Bung Hatta dalam merumuskan UUD 1945. Menurutnya, bentuk negara
federal lebih tepat untuk bangsa Indonesia yang dikenal sangat majemuk, bukan
negara kesatuan (unitary state). Akan
tetapi karena argumen-argumen kalangan pergerakan lainnya nampaknya cukup
meyakinkan baginya bahwa dalam wadah Negara Kesatuan yang hendak dibangun,
sudah dengan sendirinya daerah-daerah dapat dibangun atas dasar prinsip desentralisasi.
Menurut penulis, semangat Negara Kesatuan dengan prinsip Otonomi Daerah yang luas
inilah yang sebenarnya meyakinkan orang seperti Bung Hatta, sehingga ide
‘‘Negara Federal” dinilai menjadi tidak lagi memiliki relevansi.
Pembahasan dilanjutkan dengan perkembangan
otonomi daerah setelah kemerdekaan sampai dengan periode Demokrasi Terpimpin
yang digambarkan bagaimana tantangan yang dihadapi oleh gagasan otonomi daerah
dan prinsip desentralisasi yang luas. Setelah terjadinya pergantian Presiden pada
tahun 1967, barulah muncul kembali apresiasi mengenai pentingnya prinsip
otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan. Hal ini terlihat dengan jelas
dalam TAP MPRS tanggal 5 Juli 966, No. XXI/MPRS/
966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya Kepada Daerah. Akan tetapi oleh
penulis digambarkan bahwa kenyataannya di lapangan, idealisme yang
muncul dalam suasana peralihan kekuasaan yang menjanjikan demokrasi dan otonomi
daerah itu tidak segera dapat dilaksanakan. Setelah memasuki
masa reformasi pada tahun 1998 yang juga ditandai dengan terjadinya pergantian
kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Presiden B.J. Habibie, aspirasi mengenai
otonomi daerah dan desentralisasi muncul kembali dengan penuh janji dan optimisme.
Dalam perkembangan otonomi daerah tersebut,
penulis mengajak pembaca untuk melihat dalam pelaksanaan otonomi daerah. Sebab
di lapangan banyak sekali kasus-kasus dan dampak samping yang terjadi dan
menurunkan apresiasi masyarakat luas akan kebijakan otonomi daerah itu sendiri.
Tinggal yang menjadi persoalan adalah bagaimana agar kebijakan otonomi daerah
tetap dapat diwujudkan, tetapi ekses-ekses dan kecenderungan timbulnya gejala eforia dan sikap kebablasan juga dapat
ditanggulangi secara rasional. Dengan demikian, otonomi daerah dilihat sebagai
solusi, bukan problem ataupun ancaman
yang menakutkan.
Pada Bab 8 mengenai Perangkat Peraturan
Perundang-Undangan sepertinya penulis harus segera melakukan revisi. Sebab,
pada bab ini penulis masih menggunakan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam mementukan hierarki
perundang-undangan. Padahal, sudah ada perubahan hierarki perundang-undangan dengan
adanya UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada
bab ini adanya perubahan perundang-undangan merupakan hal yang tidak bisa
dihindari. Wajah hukum pada beberapa tahun yang lalu tentu bisa saja telah berbeda
ketika tahun juga bergeser. Ada peraturan perundang-undangan yang baru, ada
aturan baru, bahkan ada komposisi kenegaraan serta pola bernegara yang baru.
Selain itu, dalam bab ini penulis menempatkan
peraturan dalam arti sempit dan luas yang digunakan secara silih berganti. Pengertian
tentang sumber tertib hukum memuat pengertianyang lebih luas, yaitu tidak hanya
mencakup aneka putusan legislatif dan eksekutif yang dapat dijadikan sumber
hukum, tetapi mencakup pula putusan-putusan pengadilan dalam lingkungan
kekuasaan judikatif. Sedangkan bentuk-bentuk dan tata-urut peraturan hanya mencakup
putusan-putusan cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif yang isinya dapat
bersifat mengatur (regeling), dan karena itu disebut dengan peraturan. Akan
tetapi, pengertian peraturan dalam arti luas dapat pula mencakup
putusan-putusan yang bersifat administratif yang meskipun tidak bersifat
mengatur tetapi dapat dijadikan dasar bagi upaya mengatur kebijakan yang lebih
teknis.
Bab 9 sekaligus epilog, penulis ingin
menyampaikan ide aganda strategis pembangunan sistem hukum nasional. Kemunduran
penegakan hukum dengan maraknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
menyebabkan citra hukum yang tidak memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
Tidak sedikit yang memandang hukum bak penyakit
yang kronis dengan berbagai komplikasi. Sistem hukum nasional harus segera
berbenah diri untuk keluar dari persoalan yang sudah menggurita. Penanganan melalui
cetak biru dan desain makro penjabaran ide negara hukum harus dirumuskan secara
sistemis dan komprehensif. Hal ini dipandang perlu dilakukan untuk menciptakan
bangsa Indonesia yang diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu Negara Hukum. Hal
ini juga secara tegas termaktub dalam Perubahan Keempat UUD 1945 Pasal 1 ayat
(3) bahwa “Negara Indonesia adalah Negara
Hukum”.
Oleh karena itu, penulis memandang perlu
melakukan agenda strategis melalui penataan sistem hukum, penataan kelembagaan
hukum, pembentukan dan pembaharuan hukum, penegakan hukum dan hak asasi
manusia, pemasyarakatan dan pembudayaan hukum, peningkatan kapasitas
profesional hukum, dan infrastruktur sistem kode etika positif.
Secara keseluruhan, buku ini adalah sebuah pengantar
yang komprehensif memahami konstitusi dan konstitusionalisme secara khusus
dalam konteks ke-Indonesia-an.
Satu nilai lebih buku ini, meskipun ditulis
dalam topik-topik yang khusus di setiap babnya, tetapi benang merah diantara
topik dimaksud sangat jelas terbaca, sehingga buku ini mudah untuk dipahami.
1 comments
maaf, apa buku ini masih beredar di toko buku? saya perlu sumber untuk tugas midtest saya mengenai sejarah konstitusi di indonesia
ReplyDelete