Tugas Ilmu Perundang-Undangan #16
8:31 PM
Tugas 16 REVIEW
PERUNDANG-UNDANGAN
Pengujian (Review)
merupakan kewenangan lembaga
peradilan untuk menguji kesahihan
dan daya laku
produk-produk hukum yang
dihasilkan oleh ekesekutif legislatif
maupun yudikatif di
hadapan konstitusi yang
berlaku. Pengujian oleh hakim
terhadap produk cabang
kekuasaan legislatif (legislative
acts) dan cabang
kekuasaan eksekutif
(executiveacts) adalah konsekuensi
dari dianutnya prinsip ‘checks
and balances’ berdasarkan
doktrin pemisahan kekuasaan
(separation of power).
1. Legislatif Review
Sementara, legislative review
adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan
legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya, pihak
yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative review ke
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) –dan tentunya pemerintah (dalam UUD 1945,
pemerintah juga mempunyai kewenangan membuat UU)- untuk mengubah UU tertentu.
Sedangkan, untuk peraturan
perundang-undangan yang lain seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan
Presiden (Perpres) dan Peraturan Daerah, setiap warga negara tentu bisa meminta
kepada lembaga pembuatnya untuk melakukan legislative review atau melakukan
revisi.
2.
Eksekutif Review
Eksekutif review merupakan istilah yang digunakan oleh pakar-pakar hukum
untuk menyebut kewenangan pejabat atau badan administratif negara untuk
melakukan hak uji (toetsingsrecht)
terhadap peraturan perundang-undangan.
Di dalam literatur, terdapat 3 (tiga) kategori pengujian peraturan
perundang-undangan (dan perbuatan administrasi negara), yaitu:
1. Pengujian
oleh badan peradilan (judicial review);
2. Pengujian
oleh badan yang sifatnya politik (political review); dan
3. pengujian
oleh pejabat atau badan administrasi negara (eksekutive review).
Jimly Asshdiqie menyatakan
pengujian peraturan perundang-undangan dari segi subjeknya terdiri atas:
1. Pengujian
oleh lembaga eksekutif yang dapat disebut executive review;
2. Pengujian
oleh lembaga legislatif dapat disebut legislative review; dan
3. Pengujian
oleh lembaga peradilan disebut judicial review.
Adapun hak uji tersebut terdiri
dari 2 (dua) macam, yaitu:
1. hak
menguji formil (formele toetsingsrecht),
2. hak menguji
materiil (materiele toetsingrecht).
Di Indonesia, eksekutif review
diwujudkan dalam bentuk pengujian terhadap Peraturan Daerah yang dilakukan oleh
Kementerian Dalam Negeri terhadap Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota,
serta Pemerintah Provinsi terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Eksekutif review merupakan bagian
dari sistem pengawasan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, khususnya
pengawasan terhadap produk legislasi daerah. Pengawasan terhadap produk
legislasi daerah (Peraturan Daerah) dilakukan agar materi muatan sebuah
Peraturan Daerah tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
Pengawasan terhadap produk
legislasi daerah tersebut diatur dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan,
antara lain:
1. UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
2. Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah.
3. Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Selain Undang-Undang yang
disebutkan diatas, pengawasan terhadap Peraturan Daerah juga termuat di dalam
berbagai Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.
Pada dasarnya pengawasan yang
dilakukan tersebut terbagi menjadi dua yaitu pengawasan preventif dan represif.
Pengawasan preventif dilakukan pada saat produk legislasi masih berbentuk
Rancangan Peraturan Daerah, sedangkan pengawasan represif dilakukan pada saat
produk legislasi telah ditetapkan sebagai Peraturan Daerah.
Khusus di dalam pengawasan
represif, proses pengawasan dapat berujung pada pembatalan Peraturan Daerah
yang ditetapkan oleh Peraturan Presiden (Pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004. Pada perkembangannya, pembatalan Peraturan Daerah tersebut
justru tidak dilakukan melalui Peraturan Presiden melainkan dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri.
Eksekutif review yang berujung pada
pembatalan Peraturan Daerah melalui Peraturan Presiden (yang akhirnya menjadi
Keputusan Menteri Dalam Negeri) sebenarnya telah menjadi perdebatan di kalangan
politisi, praktisi, dan akademisi. Hal
tersebut dinilai tidak sejalan dengan penafsiran argumentum a contrario (a
contrario), yaitu penafsiran atau penjelasan undang-undang yang didasarkan pada
pengertian sebaliknya dari suatu peristiwa konkrit yang dihadapi dengan suatu
peristiwa konkrit yang telah diatur dalam undang-undang. Di dalam argumentum a
contrario ditafsirkan bahwa pembatalan sebuah keputusan hanya dapat dilakukan
oleh pejabat/lembaga yang membentuk keputusan tersebut.
Lalu bagaimana bentuk eksekutif
review pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 khususnya
terhadap Pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004?
Pengawasan Preventif dan Pengawasan
Represif Terhadap Peraturan Daerah.
Pengawasan preventif dilakukan
melalui evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri terhadap Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi dan oleh Gubernur terhadap Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang:
a. Pajak
daerah;
b.
Retribusi Daerah;
c. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
d. Rencana
Umum Tata Ruang; dan
Evaluasi Rancangan Peraturan
Daerah pajak dan retribusi daerah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 Pasal 157 sampai dengan Pasal 159. Yaitu, Rancangan Peraturan Daerah
provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh gubernur
dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal
persetujuan dimaksud. Sedangkan Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota
tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota
dan DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan disampaikan kepada gubernur dan
Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal
persetujuan dimaksud.
Selanjutnya Menteri Dalam Negeri
dan Gubernur sesuai kewenangannya melakukan evaluasi terhadap Rancangan
Peraturan Daerah untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan
kepentingan umum, dan/atau peraturan perundangundangan lain yang lebih
tinggi. Evaluasi tersebut dilakukan
berkoordinasi dengan Menteri Keuangan yang hasilnya dapat berupa persetujuan
atau penolakan. Kemudian hasil evaluasi
disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur untuk Rancangan Peraturan
Daerah provinsi dan oleh gubernur kepada bupati/walikota untuk Rancangan Peraturan
Daerah kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari
kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Daerah dimaksud.
Hasil evaluasi berupa penolakan
disampaikan dengan disertai alasan penolakan. Sedangkan dalam hal hasil
evaluasi berupa persetujuan, Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung
ditetapkan. Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan, Rancangan Peraturan
Daerah dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur, bupati/walikota bersama DPRD
yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan
kepada gubernur dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah
kabupaten/kota.
Pengawasan Represif terhadap
Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi diatur dalam Pasal 158
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004, yang mana Peraturan Daerah telah ditetapkan
oleh gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan. Dalam hal
Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan
pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri. Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri
Dalam Negeri dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
diterimanya Peraturan Daerah. Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang
disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan
pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden.
Keputusan pembatalan Peraturan
Daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari
kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah. Paling lama 7 (tujuh) hari kerja
setelah keputusan pembatalan, Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan
Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan
Daerah dimaksud. Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Peraturan Daerah dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada
Mahkamah Agung. Jika keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan
Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak
mempunyai kekuatan hukum. Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden
untuk membatalkan Peraturan Daerah, Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan
berlaku.
Pemerintah juga memberikan sanksi
bagi Pemerintah Daerah yang melanggar ketentuan di dalam Pasal 157 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 158 ayat (1) dan ayat (6) oleh Daerah dikenakan sanksi
berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil
atau restitusi.
Evaluasi Rancangan Peraturan
Daerah tentang APBD diatur di dalam Pasal 185 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004. Yaitu, Untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang APBD yang telah
disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD
sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada
Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.
Hasil evaluasi disampaikan oleh
Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari
terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. Apabila Menteri Dalam Negeri
menyatakan hasil evaluasi rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan rancangan
Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum
dan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan
rancangan dimaksud menjadi Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur.
Jika Menteri Dalam Negeri
menyatakan hasil evaluasi rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan rancangan
Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum
dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersama DPRD
melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya
hasil evaluasi. Jika hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan
DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan
rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Peraturan Daerah
dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri rnembatalkan Peraturan Daerah dan
Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun
sebelumnya[5]. Disini Justru Menteri
Dalam Negerilah yang menjalankan kewenangan pengawasan represif untuk
membatalkan Peraturan Daerah bukan lagi melalui Peraturan Presiden.
Terhadap Rancangan Peraturan
Daerah kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan
Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh
Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk
dievaluasi. Tahapan evaluasi tersebut
berlaku dengan mekanisme waktu yang sama seperti Peraturan Daerah Provinsi.
Sedangkan pengawasan represif dilakukan jika hasil
evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota dan DPRD, dan
Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan
rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD menjadi Peraturan
Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota, Gubernur membatalkan Peraturan Daerah dan
Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD
tahun sebelumnya.
Untuk Evaluasi Rancangan
Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah berlaku mekanisme yang sama
dengan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.
Eksekutif Review di Dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pengundangan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadikan
keberadaan eksekutif review digugat kembali, khususnya terhadap mekanisme
pembatalan Peraturan Daerah oleh Presiden.
Hal ini disebabkan rumusan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 yang berbunyi:
Pasal 9
(1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga
bertentangan dengan Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
(2) Dalam hal
suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan
dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Di dalam hierarkhi peraturan
perundang-undangan, Peraturan Daerah merupakan salah satu peraturan
perundang-undangan yang tata urutannya di bawah Undang-Undang.
Sebagaimana ditafsirkan bahwa
Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang dapat melakukan pengujian
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, maka Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 seharusnya juga dimaknai sama. Itu artinya pengujian terhadap Peraturan
Daerah yang diduga bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau
kepentingan umum, baik itu secara formil maupun materiil, hanya dapat dilakukan
di Mahkamah Agung.
Dengan demikian dapat dikatakan
Pemerintah Pusat sudah tidak memiliki lagi apa yang dinamakan pengawasan
represif, karena Pasal 9 ayat (2) tersebut berlaku umum dan tidak membedakan
subjek penduga, maka jika Pemerintah Pusat atau Pemerintah Provinsi menilai
sebuah Peraturan Daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau kepentingan umum maka juga harus meminta pengujian di
Mahkamah Agung. Dengan kata lain, Pemerintah hanya dapat melakukan pengawasan
preventif yaitu pada saat produk legislasi daerah masih berbentuk Rancangan
Peraturan Daerah.
Jika berpegang pada teori lex
posteriore derogate lex priore maka seharusnya Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 secara otomatis menghapus atau menghilangkan daya guna
ketentuan Pasal 145 dan Pasal 185 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga
kewenangan untuk melakukan pengawasan represif terhadap Peraturan Daerah tidak
secara absolut dapat dilakukan oleh Pemerintah, melainkan harus melalui
Mahkamah Agung.
Jika berpegang pada teori Lex
Specialis derogate lex generalis maka seharusnya ketentuan Pasal 145 dan Pasal
185 ayat (5) di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi tidak berlaku karena
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan pengaturan umum tentang
pemerintahan daerah yang sebagian kecil di dalamnya memuat aturan tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan yang secara khusus di atur kemudian di
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Eksekutif Review Pasca Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011
Tidak mudah bagi Pemerintah untuk
dapat menerima kenyataan bahwa sebenarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
hanya menganut sistem Judicial Review di dalam pengujian peraturan
perundang-undangan. Akan banyak alasan-alasan
yang akan diajukan untuk mengingkari hal tersebut sehingga pembatalan Peraturan
Daerah tetap dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat sehingga Pemerintah Pusat
tetap memiliki kontrol terhadap Daerah.
Tetapi sudah seharusnya Pemerintah memberi contoh
kepada masyarakat dalam hal ketaatan hukum. Ketaatan hukum memang dipengaruhi
oleh budaya hukum dari suatu masyarakat. Rendahnya ketaatan hukum di tingkat
aparat pemerintah akan mencerminkan juga tingkat ketaatan masyarakat.
Semua pihak harus menyadari bahwa
eksekutif review berupa pengawasan represif yaitu melalui pembatalan Peraturan
Daerah oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri sudah tidak dapat lagi dilakukan,
sehingga jika Pemerintah atau Pemerintah Provinsi hendak melakukan pengujian
atas Peraturan Daerah harus melakukannya melalui Mahkamah Agung. Untuk pelaksanaannya mungkin harus segera
ditetapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai prosedur
Pengujian Peraturan Daerah di Mahkamah Agung yang diajukan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Provinsi.
Kemudian untuk menjaga agar
produk legislasi daerah tetap dalam kerangka sistem hukum nasional maka
pengawasan preventif harus lebih dioptimalkan. Perubahan Undang-Undang 32 Tahun
2004 juga harus segera dilakukan agar pengawasan preventif produk legislasi
daerah tidak hanya terbatas pada Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak,
Retribusi, APBD, dan RTRW, tetapi juga untuk semua Rancangan Peraturan Daerah
dengan materi yang lain.
3. Judicial Review
“Judicial Review” (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan
untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan
oleh ekesekutif, legislatif maupun yudikatif dihadapan
konstitusi yang berlaku. Kewenangan untuk
melakukan ‘judicial review’
itu melekat pada fungsi
hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain.
Jika pengujian tidak
dilakukan oleh hakim,
tetapi oleh lembaga parlemen, maka
pengujian seperti itu
tidak dapat disebut
sebagai ‘judicial review’,melainkan ‘legislative
review’. Pengujian judicial
itu sendiri dapat bersifat formil atau materiel (formele
toetsingsrecht en materiele toetsingsrecht).
Pengujian formil
biasanya terkait dengan
soal-soal prosedural dan
berkenaan dengan legalitas kompetensi
institusi yang membuatnya.
Hakim dapat membatalkan suatu
peraturan yang ditetapkan
dengan tidak mengikuti
aturan resmi tentang pembentukan
peraturan yang bersangkutan.
Hakim juga dapat menyatakan batal
suatu peraturan yang
tidak ditetapkan oleh
lembaga yang memang memiliki
kewenangan resmi untuk
membentuknya. Sedangkan
pengujian materiel berkaitan
dengan kemungkinan pertentangan
materi suatu peraturan dengan
peraturan lain yang
lebih tinggi ataupun
menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan
dengan norma-norma yang berlaku
umum. Misalnya, berdasarkan
prinsip ‘lex specialis derogate lex
generalis’,maka suatu peraturan
yang bersifat khusus
dapat dinyatakan tetap berlaku
oleh hakim, meskipun
isinya bertentangan dengan materi
peraturan yang bersifat
umum. Sebaliknya, suatu
peraturan dapat pula dinyatakan tidak
berlaku jikalau materi
yang terdapat di
dalamnya dinilai oleh hakim
nyata-nyata bertentangan dengan
norma aturan yang
lebih tinggi sesuai dengan
prinsip ‘lex superiore derogate
lexinfiriore’. Pengujian atau ‘review’ oleh hakim
itu dapat dilakukan
secara institutional atau
formal dan dapat
pula dilakukan secara prosesual
atau substansial. Suatu
peraturan sebagai institusi dapat dimohonkan
pengujian kepada hakim,
dan hakim dapat
menyidangkan perkara
‘judicial review’ itu
dalam persidangan yang
tersendiri. Dalam hal demikian,
dapat dikatakan bahwa
pengujian materiel itu
dilakukan secara
institusional, dimana peraturan
yang bersangkutan secara
keseluruhan dapat dinyatakan tidak
berlaku lagi secara
hukum. Tetapi, pengujian
juga dapat dilakukan oleh
hakim secara tidak
langsung dalam setiap
proses acara di pengadilan. Dalam
mengadili sesuatu perkara
apa saja, hakim
dapat saja atau berwenang mengesampingkan berlakunya
sesuatu peraturan atau
tidak memberlakukan sesuatu peraturan
tertentu, baik seluruhnya (totalitas) ataupun sebagiannya. Mekanisme
demikian ini dapat
pula disebut sebagai
‘judicial review’ yang bersifat prosessual, atau ‘judicial review’ yang
bersifat substansial.
Objek yang diuji oleh hakim
dapat berupa produk hukum yang
ditetapkan oleh lembaga legislatif
(legislative acts) dan
dapat pula berupa
produk eksekutif (executiveacts). Produk
legislatif (legislative
acts) biasanya disebut
undang-undang, wet atau law,
tergantung bahasa yang
digunakan di masing-masing negara.
Di Indonesia, penggunaan
istilah Judicial review
mencakup pengujian peraturan perundang-undangan. Pengujian
peraturan perundang-undangan
bertujuan untuk memperbaiki,
mengganti, atau meluruskan
isi dari peraturan perundang-undangan tersebut agar
tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar atau Undang-undang
sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dapat memberikan kepastian hukum,dan
perlindungan hukum serta memberikan kemanfaatan
bagi masyarakat luas.
Dalam pengujian peraturan
perundang-undangan dapat terlihat
bahwa terjadi ketidakharmonisan antara
peraturan perundang-undangan
yang satu dengan
lainnya, baik secara
vertikal maupun horizontal.
Sehingga dengan pengujian tersebut hakim melalui putusannya akan
menghilangkan ketidakharmonisan (disharmonis)
antara peraturan peraturan perundang-undangan yang satu dengan
lainnya.
Judicial Review merupakan proses
pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan.
Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”). Sedangkan, pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah
Agung (“MA”). Lebih jauh simak artikel “Perbedaan Judicial Review dengan Hak
Uji Materiil”).
Secara teori, lembaga peradilan –
baik MK maupun MA - yang melakukan judicial review hanya bertindak sebagai
negative legislator. Artinya, lembaga peradilan hanya bisa menyatakan isi norma
atau keseluruhan norma dalam peraturan perundang-undangan itu tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat bila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Mereka tidak boleh menambah norma baru ke dalam peraturan
perundang-undangan yang di-judicial review.
Permohonan judicial review memiliki
syarat yang lebih ketat dibanding legislative review. Dalam judicial review,
sebuah peraturan perundang-undangan hanya bisa dinyatakan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat bila memang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di atasnya. Sedangkan, dalam legislative review, setiap
orang tentu bisa saja meminta agar lembaga yang memiliki fungsi legislasi
melakukan revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya,
peraturan perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat secara
horizontal.
Sebagaimana kita ketahui bersama,
dalam trias politica dikenal tiga macam kekuasaan. Yakni, kekuasaan legislatif
(pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), dan
kekuasaan yudikatif atau peradilan (penegak undang-undang). Kewenangan judicial
review diberikan kepada yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan
eksekutif yang berfungsi membuat undang-undang.
Judicial review, menurut Prof.
Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam
bukuHukum Acara Pengujian Undang-Undang (hal. 1-2), adalah pengujian yang
dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma.
Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie menjelaskan dalam bukunya
bahwa dalam teori pengujian (toetsing), dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan
tersebut biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti
materiil) dan wet in formele
zin(undang-undang dalam arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dibedakan dengan
istilah pembentukan
undang-undang dan materi muatan undang-undang.
Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan
pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil (hal. 57-58).
Hak atas uji materi maupun uji formil ini diberikan bagi pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu (lihat Pasal 51 ayat [1] UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi):
1.
perorangan
warga negara Indonesia;
2.
kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
3.
badan
hukum publik atau privat; atau
4.
lembaga
negara.
Hak uji ini juga diatur dalam Pasal 31A UU No. 5 Tahun 2004
tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung untuk pengujian
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang.
Jadi, judicial
review adalah mencakup
pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil(uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk
mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap
melanggar hak-hak konstitusional warga negara.
Sumber:
www.djpp.depkumham.go.id
0 comments