Peran Intelektual Profetik dalam Advokasi Hukum yang Progresif dan Responsif
11:00 AM
Oleh Harry Fambudi
Inilah Potret Penegakan Hukum Kita!!
Indonesia
merupakan negara hukum. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Konsekuensi logisnya adalah penyelenggaraan negara yang baik harus didasarkan
pada pengaturan hukum. Negara menjunjung tinggi penegakan hukum yang tugasnya menjamin
ketertiban, memberikan keadilan, dan keamanan masyarakat.
Namun,
saat ini keberadaan hukum di Indonesia menjadi perhatian serius dan tajam dari
banyak kalangan. Hal ini disebabkan oleh kegagalannya dalam menjalankan fungsi
sebagai suatu lembaga yang melindungi dan memberikan keadilan dalam masyarakat.
Tidak sedikit yang dengan sinis mengumpamakan hukum Indonesia sedang sakit
berat yang sudah semestinya dilarikan ke “ruang gawat darurat” dan pendapat
yang lebih sarkasme bahkan menyatakan hukum Indonesia mengalami “proses
pembusukan”.[1]
Hukum
pada kondisi saat ini tidak memiliki kekuasaan untuk menata dirinya, hukum
berada pada titik keberantakan (Salaman dan Susanto, 2004:149), kondisi seperti
ini oleh Satjipto Raharjo digambarkan sebagai berikut:
“Situasi
keberadaan hukum diperlihatkan oleh kondisi hyperregulated, yaitu tumpang
tindih (benturan) aturan karena terlalu banyak aturan, proses pembodohan masyarakat,
penindasan sampai pada miskinnya kreativitas dan matinya nurani penegak hukum.
Akibatnya muncul apa yang digambarkan sebagai model penyelesaian maslah di luar
hukum formal, tanpa harus menunggu prosedur yang lama dan berbelit-belit, masa
mengadili pelaku di tempat kejadian, mulai dari peradilan massa sampai pada cap
(stigma) tertentu terhadap birokrat. Situasi yang demikian muncul karena sudah
tidak ada lagi kepercayaan yang bisa dilimpahkan kepada lembaga penyokong
keadilan. Keadilan menjadi sangat eksklusif dan hanya dimiliki oleh segelintir
kelompok yang memiliki kemampuan mengalokasikan sumber-sumber kekuasaan.
Situasi ini telah memicu dan mendorong masyarakat yang termarjinalkan untuk
bergerak. Semakin kuatnya tuntutan masyarakat demikian itu, maka dimulailah
“Era Hukum Rakyat”, rakyat mulai menguasai jalan dan mengambil alih penafsiran,
siapa yang menguasai jalan dia menguasai hukum”.
Gerakan Intelektual Profetik: Usaha Perjuangan
Perlawanan, Pembebasan, Pencerahan, dan Pemberdayaan Masyarakat
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI) telah menegaskan dirinya sejak awal sebagai Gerakan
Intelektual Profetik. Paradigma ini telah ditetapkan sebagai konsekuensi logis
atas pilihan ideologi gerakan yang telah memilih Islam sebagai ideologi. Jika
dicermati, sesungguhnya penetapan paradigma ini memiliki dua makna sebagai
konsekuensi. Makna yang pertama adalah Gerakan KAMMI harus memiliki analisis
ilmiah dalam menentukan arah gerakan, baik ilmiah dalam konteks waqi’iy
(realitas) maupun ilmiah dalam konteks ta’shil syar’iy (sumber). Sedangkan
makna yang kedua adalah bahwa gerakan ini memiliki basis transedental, dalam
arti memiliki visi risalah langit yang bersumber dari wahyu.[2]
Generasi Intelektual Profetik mencoba
menjadikan Islam sebagai pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan
yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. Sebab
konsep keesaan Tuhan itu adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk
melaksanakannya dalam kehidupan secara menyeluruh. Sebagai pewaris para nabi,
intelektual profetik memiliki tanggung jawab untuk menjalankan peran-peran keummatan,
terlibat langsung dalam berbagai aspek kehidupan dan mewujudkannya dalam sebuah
teorisasi sosial yang dapat digunakan sebagai rumusan dari penyelesaian masalah
ummat. Hal ini merupakan wujud nyata usaha perjuangan perlawanan, pembebasan,
pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik.
Seorang intelektual adalah orang-orang
yang merasakan penderitaan masyarakat, ada bersama dengan masyarakatnya dan
melakukan tindakan serta perbuatan nyata untuk menuntaskan permasalahan
masyarakatnya. Intelektual memiliki keterkaitan dengan masyarakatnya, dia
merasa memiliki pertanggungjawaban sosial yang mendalam, sebuah nilai-nilai
yang menjadi ciri utama para nabi dan rasul.[3]
Dengan sebuah kesadaran penuh
intelektual profetik akan menyadari dia adalah seseorang yang menjadi pewaris
para nabi, bukan pada titik menerima wahyu tetapi dalam posisi menjalankan
peran-peran sosial para nabi, melakukan pembelaan terhadap ummat, rakyat, dan
masyarakat. Intelektual profetik hadir di tengah masyarakat untuk menjadi
bagian tidak terpisahkan dari masyarakat, dia adalah hakikat dari masyarakat
itu sendiri, dia merasakan apa yang masyarakat rasakan, dia merasakan bagaimana
rasanya dipinggirkan, ditindas, diacuhkan, dipermainkan tetapi dia berpikir
seharusnya ada perlawanan ketika yang lain tidak berani akan itu, seharusnya
ada perubahan ketika yang lain pasrah. Posisi keberpihakannya jelas, dia akan
berpihak pada ummat dan nasibnya, rakyat dan penderitaannya dan masyarakat
beserta harapannya.[4]
Advokasi Hukum yang Progresif dan
Responsif
Seorang intelektual memiliki tanggung
jawab sosial untuk merasakan permasalahan masyarakat, melihat langsung
bagaimana masyarakat menderita dan kemudian berupaya merumuskan bagaimana
solusi konkret atas permasalahan sosial tersebut.[5]
Seorang intelektual profetik harus mencoba membangun pandangan hidup Islam baik
ketika dia melihat realitas, mempertanyakan, memikirkan, merumuskan masalah,
menawarkan solusi dan seluruh aktivitas lainnya di tataran masyarakat.[6]
Jiwa
intelektual profetik seakan tercabik-cabik melihat krisis hukum saat ini.
Krisis hukum tersebut tergambarkan dengan rendahnya akses masyarakat terhadap
keadilan dan sistem peradilan yang fair dan
imparsial sebagai hak dasar. Padahal hak dasar tersebut telah diatur dalam pasal
27 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 bahwa “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Keadaan
ini semakin diperburuk dengan kinerja aparat penegak hukum yang cenderung tidak
berpegang pada kode etik profesi, lemahnya pengawasan internal terhadap profesi
aparat penegak hukum serta rendahnya kualitas profesionalitas.[7]
Di
sinilah kemudian letak peran strategis intelektual profetik dalam memberikan
advokasi hukum kepada masyarakat. Intelektual menjadi kelas perantara yang
mempertemukan antara rakyat dengan penguasa, antara kelas alit dan kelas elit.
Intelektual menjadi kelas menengah yang memiliki aksesibilitas yang menjangkau
dua ranah tersebut. Memiliki pengalaman lapangan yang riil akan kondisi
penderitaan masyarakat dan memiliki daya jangkau untuk mempengaruhi pengambilan
kebijakan.[8]
Advokasi merupakan media yang digunakan
dalam rangka mencapai tujuan tertentu secara sistematis dan terorganisasi untuk
mempengaruhi dan mendesak terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara
bertahap dan maju (incremental). Pemahaman
tentang advokasi diperlukan paradigma baru sehingga tidak terjebak pada
pemahaman sempit yang berarti proses beracara di peradilan atau, sebaliknya,
dengan pemahaman yang berlebihan, meletakkan advokasi sebagai kegiatan makar
untuk menggulingkan pemerintahan yang mapan. Advokasi harus diletakkan dalam
konteks mewujudkan keadilan sosial, yaitu advokasi yang meletakkan korban kebijakan
sebagai subjek utama.[9]
Dalam memahami upaya advokasi bahwa
tujuan atau sasaran akhir adalah terjadinya perubahan peraturan atau kebijakan
(policy reform). Dengan kata lain,
advokasi sebenarnya merupakan upaya untuk memperbaiki atau mengubah suatu
kebijakan publik sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka yang
mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut. Oleh karena itu, melalui
tindakan advokasi yang progresif dan responsif kepada masyarakat, mahasiswa—khususnya
kader KAMMI sebagai intelektual profetik—berfungsi dalam menjembatani antar
berbagai unsur progresif dalam masyarakat (civil
society), melalui terbentuknya aliansi-aliansi strategis yang
memperjuangkan terciptanya keadilan sosial dengan cara mendesakkan terjadinya
perubahan-perubahan kebijakan publik.
[1] Rachmad Safa’at, Advokasi dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa: Latar Belakang, Konsep, dan Implementasinya, Surya Pena Gemilang,
(Malang: 2011), hal. 13
[2] Faris Jihady Hanifa, Menentukan Arah Gerakan KAMMI dalam
Perspektif Nilai Profetik http://banghanif.multiply.com/journal/item/5/Menentukan-Arah-Gerakan-KAMMI-dalam-Perspektif-Nilai-Profetik, diakses pada hari Selasa, 19
Februari 2013
[3] Adhe Nuansa Wibisono, Membumikan Intelektual Profetik, http://kammikomsatugm.wordpress.com/2010/03/17/%E2%80%9Cmembumikan-intelektual-profetik%E2%80%9D/, diakses pada hari Selasa, 19
Februari 2013
[4] Ibid
[5] Ibid.
[6] http://luangkansedikitwaktumu.blogspot.com/2012/12/tafsir-paradigma-gerakan-kammi.html, Tafsir Paradigma Gerakan KAMMI, diakses pada hari Selasa, 19 Februari
2013
[8]Adhe Nuansa Wibisono, loc. cit.
0 comments